Selamat Jalan, Pak Jen!

(…dan kematian adalah ‘jembatan’ menuju keabadian)

Oleh: Mohamad Anas (Sahabatmu dalam keheningan)

 

Perjumpaan dengan alm. Pak Jen (demikian sapaan akrab pria bernama lengkap Mokhamad Jaenuri) bermula dari masalah yang pernah menderanya, sependek ingatan saya saat itu sekitar tahun 2012 hingga 2013. Saya sendiri juga masih baru di UPT MKU (nama unit sebelum menjadi UPT PKM) yang tentu saja belum begitu paham medan dan kondisi. Pak Jen lalu bercerita tentang masalah yang dialaminya, meskipun saya sendiri tidak begitu jelas duduk perkara yang menimpanya, entah karena terlalu kompleks persoalan atau Pak Jen sendiri yang tidak bercerita secara gamblang.

Seiring  berjalannya waktu seorang kolega dosen dan juga sekaligus teman Pak Jen saat kuliah di kampus Unair Surabaya lalu menelpon saya dan meminta tolong agar Pak Jen dapat kembali diberi tempat diajukan kembali statusnya sebagai dosen tetap di Universitas Brawijaya. Proses tersebut dapat dikatakan cukup lama, dan dalam kondisi penantian tentu saja tidak ada pemasukan rutin yang diterima, apalagi Pak Jen juga masih mempunyai tanggungjawab memberi nafkah putrinya yang ada di negara Jepang. Penantian panjang proses pemulihan status Pak Jen akhirnya membuahkan hasil, Pak Jen lalu harus mengikuti serangkaian kegiatan pra jabatan sebagai salah satu syarat untuk menjadi dosen tetap. Di tengah itu pula, dia harus menyelesaikan studi program s2 ilmu bahasa dan budaya di kampus kebanggaannya tersebut.

Memahami sosok Pak Jen memang tidak bisa dikatakan mudah, sikap yang cenderung introvet seakan menambah sisi unik dalam dirinya, di samping juga pengalaman perjalanan hidup yang cukup dinamis menambah misteri sosok ini. Saya sendiri harus berkali-kali untuk mendengar dan mencoba memahami jalan pikirannya. Misalnya ketika ada masalah dirinya yang berkaitan dengan sistem kampus tempat di mana dia bernaung. Saya tidak bisa membayangkan, Pak Jen memahami realitas sebagai hal yang selalu berhadap-hadapan (biner) dan sekaligus hegemonik. Bisa dibayangkan jika kerangka yang dipakai untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan dan pikiran Marxian. Maka tentu saja kebuntuan demi kebuntuan akan terus berlanjut. Jalan pikiran demikian ternyata terus dibawa oleh Pak Jen di masa-masa ketika harus bersentuhan dengan masalah keadministrasian.

Apakah dengan demikian Pak Jen adalah sosok yang keras kepala? Bisa jadi demikian, tetapi konsistensi mempertahankan pandangan dan jalan pikiran dapat dikatakan sebagai bentuk kelebihan tersendiri, meskipun harus menanggung resiko terburuk yang akan diterimanya, tetapi Pak Jen tetaplah berjalan di atas jalan pikiran dan kebenaran yang diyakini.

Jalan pikiran ‘keras’ dan karakter ‘nggegem’ (menyimpan erat-erat segala persoalan) yang ditempuhnya ternyata tidak hanya berkaitan dengan masalah profesi yang ditekuninya, masalah kehidupan pribadinya juga demikian adanya, sehingga betapa sulit untuk dapat mamahami sosok kolega kita ini. Hal ini tentu saja bukanlah suatu kesalahan, tetapi justru menjadi bagian dari keunikan manusia yang memang multidimensional. Manusia yang mempuyai kekhasan sendiri, jalan pikiran sendiri, dan karakter khas sendiri pula. Tidak berlaku di dalam kekhasan setiap manusia untuk dipaksakan secara umum. Maka yang perlu dikedepankan tentu saja pemahaman dan pengertian antar sesama sehingga terjadi kebenaran yang bersifat ‘intersubjektif.

Di luar persoalan pribadinya, dalam aktivitas akademiknya secara rutin dijalani dengan baik, tanpa ada kendala atau mungkin persoalan yang berarti. Pak Jen hanya sesekali memberikan masukan pembelajaran yang menekankan pada karakter sebagai penciri dari Matakuliah Pengembangan Kepribadian. Saya melihat aktivitas akademik yang dijalani selama ini dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasanlah yang mengantarkannya menemukan kebahagian intelektual, kebahagiaan yang mengantarkannya menjadi manusia ‘bebas’, bebas tanpa beban ini nampak ketika dalam beberapa statusnya di facebook mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai menyimpang.

Kamis, 13 April 2023 atau bertepatan dengan hari ke 22 Puasa Ramadhan tahun 1444H, Pak Jen pulang menghadap Sang Khalik. Kepulangannya tentu membawa duka mendalam bagi kita semua, khususnya bagi warga UPT PKM yang selama kurang lebih 10 tahun telah menjadi tempat bernaung untuk penyebaran ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter mahasiswa, khususnya bidang bahasa Indonesia. Sakit yang cukup lama menderanya menjadi perantara kematiannya. Dan kematian juga mengantarkannya pada hilangnya segala macam penderitaan batin yang mungkin membelenggunya selama ini. Kematian justru membebaskanmu, Pak Jen. Selamat Jalan! Sesungguhnya semua hal yang ada di dunia dan isinya adalah milik Allah dan kepada Allah jualah akan kembali.

Wallahu ‘Alamu Bisshawab