DISKUSI ILMIAH BULANAN GURU BANGSA ”PENDIDIKAN DEMOKRASI DI TAHUN POLITIK”

DISKUSI ILMIAH BULANAN GURU BANGSA

”PENDIDIKAN DEMOKRASI DI TAHUN POLITIK”

             Diskusi ilmiah bulanan guru bangsa adalah tradisi akademik di Pusat MPK Universitas Bawijaya sebagai wadah forum ilmiah mahasiswa dan dosen di luar ruang belajar mengajar. Diskusi ini diharapkan tidak hanya mengasah mahasiswa untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, wacana keilmuan, dan karakter di dunia akademik, tetapi juga untuk mengasah kepekaan mahasiswa dalam beradaptasi dan menempatkan diri di tengah masyarakat. Mengingat tahun 2018 masyarakat Indonesia telah mempersiapkan diri dalam pesta demokrasi, maka tema “Pendidikan Demokrasi di Tahun Politik” dipilih menjadi tema diskusi. Tema ini sengaja diangkat dengan tujuan untuk meberi wadah mahasiswa berdiskusi dalam mengahadapi pesta demorasi, mengingat mahasiwa merupakan pemilih pemula atau baru mendapatkan hak suara dalam pemilihan wakil rakyat maupun pemilihan presiden. Kegiatan diskusi kali ini terasa berbeda dengan kegiatan diskusi sebelumnya karena sebelum acara diskusi dilangsungkan dibacakan orasi kebangsaan oleh Bapak Albar Adetary Hasibuan, M.Phil.

Penyaji materi dalam diskusi kali ini adalah Emi Setyaningsih, M.Phil. dan Triya Indra Rahmawan, S.H., M.H. . Keduanya merupakan dosen Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Brawijaya. Moderator pada FGD kali ini adalah Dr. Mohamad Anas, M.Phil. serta pembawa acara pada diskusi kali ini adalah Fitrahayunitisna, S.S., M.Pd. sekaligus ketua panitia. Kegiatan kali ini dihadiri oleh mahasiswa UB dan umum akan tetapi sebagian besar peserta adalah mahasiswa UB. Acara yang berlangsung hari Kamis, 4 April 2018. Diskusi berlangsung selama dua jam. Persiapan dilakukan selama satu bulan.

Kegiatan yang dilaksanakan di gedung rektorat UB lantai 8 ini bertujuan untuk memberikan media kepada mahasiswa untuk mengekspresikan ide dan gagasannya dalam forum; meningkatkan mutu, sikap, dan motivasi mahasiwa dalam mengembangkan karakter; meningkatkan kegairahan dan semangat mahasiswa dalam berwacana dan berliterasi dan dan forum ilmiah sebagai sebuah tradisi akademik; serta mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi tahun politik sebagai pemilih milenial. Kegiatan yang berlangsung hari Kamis, 4 April 2018 ini dibuka oleh pembawa acara, kemudian dilanjutkan dengan orasi kebangsaan. Selanjutnya adalah pemaparan dari kedua pemateri dan dilanjutkan dengan diskusi. Berikut adalah ringkasan pemaparan materi dan diskusi:

Sebagai tokoh dan negarawan yang mencintai tanah airnya, Natsir memiliki pandangan politik yang dikenal santun dan bermartabat. Karakter keberagamaannya tidak membuat Natsir memisahkan diri dari “takdir demokrasi”  sebagai realitas politik RI saat itu. Strategi dakwah Natsir di dunia politik menunjukan sikap yang akomodatif terhadap Pancasila, setia kepada proklamasi, dan konstitusi.

Maka tidaklah berlebihan ketika saya mengatakan bahwa perilaku politik dan demokrasinya layak untuk diteladani. pun gagasannya tentang demokrasi teistik, terlepas dari kelemahan teoritisnya, saya anggap memiliki relevansi dengan kehidupan politik dan demokrasi saat ini.  Karena walaupun corak teistiknya begitu kental, tetapi substansi gagasan demokrasi teistiknya mengandung nilai-nilai yang universal yang bisa dijadikan landasan bagi kehidupan demokrasi saat ini.

Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat. Sebab dengan demokrasi, hak rakyat untuk menentukan sendiri jalannya pemerintahan dapat terjamin melalui pelaksaan pemilu. Pemilu bukan semata-mata sukses secara prosedural tapi Pemilu harus dipastikan sukses juga secara substantif yang benar-benar menghasilkan pemimpin yang memiliki nilai-nilai moral yang tinggi, mengutamakan kepentingan bangsa dari pada kepentingan pribadi dan berkomitmen tinggi untuk kesejahteraan rakyat. Untuk itu diperlukan suatu komitmen semua pihak, mulai penyelenggara pemilu, peserta pemilu, unsur pemerintah dan masyarakat, khususnya pemilih milenial untuk bersama-sama mewujudkan tujuan Pemilu.

Generasi millenial merupakan generasi yang paling melek dengan teknologi dan adaptif dengan segala hal yang berbau informasi. Kehebatan untuk memanfaatkan internet dan ponsel adalah perbedaan norma hidup yang telah diakui mampu membedakan generasi millenial dengan generasi sebelumnya. Dari warung kopi ke dunia maya kiranya cukup melukiskan perubahan dari generasi sebelumnya ke generasi millenial. Generasi milenial tumbuh dalam lingkungan yang serba digital menjadi salah satu pembeda generasi millenial dengan generasi sebelumnya. Untuk itu, pemilih milenial diharapkan benar-benar menjadi pemilih kritis, berdaulat, dan merawat nalar. Kehebatan untuk memanfaatkan internet dan ponsel harus diarahkan untuk mencermati rekam jejak, gagasan, dan program para calon, bukan hanya menentukan pilihan dikarenakan popularitas semata. Demikian halnya dalam menangkap informasi, sebagai pemilih yang kritis, sudah sewajarnya menggunakan daya kritisnya untuk mencerna setiap informasi yang diterima. Di sisi lain, tantangan juga hadir bagi partai politik yang mengusung kandidatnya. Partai politik harus mampu menyajikan kandidat sesuai selera dan harapan pemilih milenial seperti sosok yang bersih, muda, berprestasi, dan punya rekam jejak yang baik. Agar mampu menguatkan basis pemilih milenial, partai politik juga dituntut untuk mampu menyuguhkan program-program yang langsung menyentuh aspirasi dan kepentingan kelompok milenial.

Dalam diskusi kali ini terdapat pertanyaan dari beberapa mahasiswa yang menanyakan bagaimana cara memilih calon pejabat yang semua calon kandidatnya terbukti korupsi? Dan mungkinkah negara dengan Ideologi Islam terbentuk akan tetapi berdasarkan asas demokrasi? Menanggapi pertanyaan tersebut, pemateri memberikan pendapatnya dengan cara melihat dari trackrecord calon pejabat, bukan dari tingkat kepopulerannya. Kemudian hal yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan riset kecil melalui media sosial atau media massa. Kemudian menanggapi pertanyaan kedua, pemateri memberikan pendapat bahwasannya Natsir sudah merumuskan konsep negara demokrasi berdasarkan nilai-nilai Islam yang dimuat dalam Pancasila. Jadi, konsep Pancasila Natsir tidak sama seperti konsep Pancasila Soekarno, yakni Pancasila yang berlandaskan semangat sekuler Nasionalis. Natsir memaknai Pancasila secara religius Islam Nasionalis.