Pekan Pancasila: Pancasila dalam Diskursus

Pada peringatan pekan Pancasila tanggal 2 Juni 2017, Pusat MPK dan Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UB 2017 bekerja sama dengan MODUS (Management on Discussion) menyelenggarakan bedah buku dan musikalitas puisi dengan tema “Pancasila dalam Diskursus”. Kegiatan ini merupkan respon terhadap Pekan Pancasila dan Hari Lahir Pancasila 2017. Pada kesempatan ini, dosen Matakuliah Pengembang Kepribadian Universitas Brawijaya (MPK UB), yaitu Dr. Mohamad Anas, M.Phil dan Surya Desismansyah Eka Putra, M.Phil menjadi pemateri sekaligus pembedah buku Pancasila dalam Diskursus; Sejarah, Jalan Tengah, dan Filosofi Bangsa (2017) yang merupakan karya bersama tim dosen MPK UB.

Dr. Mohamad Anas membuka diskusi dengan menyatakan “Diskusi tentang ideologi bangsa saat ini telah hidup kembali dan mengerucut pada urgensi Pancasila, namun pembahasannya rata-rata terlalu tekstual dan rujukannya masih menggunakan buku lama, seperti buku milik Prof. Kaelan. Jika pun ada buku yang monumental hanyalah milik Yudi Latif dengan Negara Paripurnanya.” Kemudian Anas menambahkan, “sebagai respon terhadap sedikitnya rujukan baru tentang Pancasila, tim dosen MPK UB menerbitkan buku ini sebagai bagian dari usaha memperluas khasanah dan kajian tentang ideologi Pancasila.”

Pada paparan tersebut, terdapat beberapa hal penting yang disampaikan oleh Mohamad Anas terkait pentingnya perumusan kembali pendidikan Pancasila terutama persepsi pluralitas yang terdapat di dalam nilai Pancasila. “Sekarang ini, Pancasila seolah-olah hanya dipakai sebagai pembenar atau klaim dari setiap kesalahan yang ada. Misalnya kasus pilkada Jakarta kemarin, semua orang mengklaim bahwa apa yang dibela adalah atas nama Pancasila. (kasus) Pembubaran HTI pun dianggap sebagai tindakan yang tidak Pancasilais, padahal diakui atau tidak apa yang dilakukan oleh ormas ini sudah cukup menyimpang dari kehidupan kenegaraan di Indonesia”. Pernyataan Mohamad Anas ini kemudian diteruskan oleh Surya sebagai pembicara kedua dengan menyatakan “persepsi Pancasila saat ini hanya dipakai untuk mebenarkan kelompok lain dan bukan sebagai jalan tengah, padahal Pancasila pada dasarnya adalah medium untuk memberikan ruang dialog dari semua golongan dan kepentingan”. Surya kemudian melanjutkan, “jika kita melihat dasar filsafatnya, Pancasila adalah ideologi intermediate sebagaimana gagasan Aristoteles. Pancasila dipakai sebagai titik temu atau moderasi dari setiap kepentingan dan kelompok untuk mendamaikannya. Jika kita melihat fenomena bela-belaan dari akhir tahun lalu (2016) sampai awal tahun ini (2017), kita dapat melihat bahwa Pancasila hanya dipakai sebagai pertunjukan politik dari masing-masing kelompok yang ada pada saat ini. Dan ini sangatlah riskan bagi semangat kebangsaan kita yang kni beralih menjadi identitas primordial”.

Setelah menyampaikan paparannya masing-masing, peserta diskusi diperkenankan untuk memberikan tanggapan ataupun pertanyaan kepada kedua pemateri. Rata-rata pertanyaan yang disampaikan terkait dengan identitas agama yang dihadapkan pada ideologi Pancasila, ekonomi yang seharusnya, lalu juga tentang bagaimana tafsir ideal tentang Pancasila. Jawaban dari Mohamad Anas dan Surya sama-sama menegaskan bahwa, ukuran toleransi dalam kehidupan berbangsa haruslah menempatkan nilai-nilai bersama dan bukan nilai yang didasarkan pada penerimaan identitas bersama. Ini artinya, identitas agama tertentu tidak boleh terlalu ditonjolkan sebagai identitas tunggal untuk mendominasi atau bahkan melakukan kekerasan baik secara verbal, fisik maupun politik. Karena pada dasarnya mayoritas atau minoritas warga negara ditentukan oleh ketaatannya terhadap konstitusi dan pemenuhan kewajibannya dalam membayar pajak. Selain itu, model keadilan ekonomi saat ini harus dilakukan dengan memperbanyak jumlah kepemilikan usaha dari penduduk asli meskipun pelaksanaannya mengadopsi model kapitalime, atau sederhananya kapitalisme lokal. Dan itu dapat dicontohkan di Sumatera Barat yang mayoritas toko-toko penjualan tidak ada francise swalayan seperti yang sudah lama menjamur di Pulau Jawa, dan ini justru bagus bagi perkembangan ekonomi lokal. Oleh karena itu penerapan Pancasila saat ini harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah sekaligus kesadaran pribadi dari setiap warga negara.